Asosiasi Media Digital mempunyai “white list” media digital yang layak disebut media massa versi Dewan Pers.

Obsesinews.com, Jakarta- Asosiasi Media Digital Indonesia (AMDI) meminta pemerintah segera menertibkan dan menindak tegas media online “abal-abal”. 
Maksudnya, media massa yang menyebarkan informasi menyesatkan, berita hoax, menyebarkan berita yang bernada menghasut, menyebarkan rasa kebencian terhadap pemeluk agama lain, serta menayangkan informasi berita berbau memecah belah persatuan bangsa Indonesia. 
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Media Digital Indonesia (AMDI) Edi Winarto mengatakan, dalam pemantauannya, media online “abal-abal” itu dimanfaatkan untuk membentuk opini publik kemudian disebarluaskan melalui media sosial Facebook, twitter, Instagram hingga line. Termasuk media digital yang dibuat mendadak, untuk kepentingan sesaat. 
“Berita atau opini yang mereka buat seolah pandangan umum atau pandangan narasumber, padahal berita itu ada maksud tertentu mempengaruhi pembacanya, jika pengaruh itu positif tidak jadi masalah, yang menjadi persoalan jika informasi itu negatif, bersifat mengadu domba yang berujung saling menjelekkan sesama antar warga masyarakat, ini yang harus diwaspadai,” ujar Edi Winarto, Sekjen Asosiasi Media Digital. 
Media online yang dimaksudkan Edi Winarto itu adalah media online yang tidak jelas siapa pengelolanya, siapa penanggungjawabnya termasuk alamat media. Namun mereka belakangan ini marak muncul di media sosial. Apalagi ketika isu SARA muncul pada pertarungan Pemilihan Kepala Daerah. 
“Media-media itupun gencar membuat pemberitaan massif yang bernada memojokkan salah satu kandidat dengan isu agama,” ujar Edi Winarto. Media online ini yang harus dipantau dan dicari siapa yang membuat dan kemudian ditanya apa motivasinya melakukan perbuatan ini dan membuat media online itu. 
“Asosiasi Media Digital membantu pemerintah, untuk daftar white list, media mana kredibel sesuai ketentuan Dewan Pers, mana yang bisa disebut media massa,” ujar Edi Winarto yang juga Sekjen Forum Pimpinan Media Digital. 
Pria yang kerap dipanggil Edo ini menambahkan, kehadiran media massa sepanjang sejarahnya di Indonesia, lanjut jurnalis ini, adalah sebagai alat perjuangan, agen perubahan dan sebagai alat kontrol sosial.
 “Namun belakangan ini seiring kemajuan teknologi dan mudahnya orang membuat media dengan cara membuat situs berita, isi berita tidak lagi menjadi pertimbangan apakah materi itu layak atau tidak ditampilkan ke khalayak yang lebih luas,” tuturnya. 
Dampaknya, Edo mengatakan, opini yang mereka buat semakin memperuncing perbedaan pendapat di kalangan netizen dunia maya yang tidak perlu. Bahkan memicu sikap anarkisme dalam membangun komunikasi di media sosial. 
“Sebagai contohnya sekarang ini banyak meme-meme ditampilkan secara tidak santun seperti menggambarkan (maaf) binatang, pornografi, dan menjelek-jelekkan orang lain atau tokoh, ini sudah tidak memberikan pembelajaran yang baik bagi nilai-nilai kesantunan bangsa Indonesia,” paparnya. 
AMDI, lanjut Edi Winarto meminta pemerintah dalam hal ini Menteri Komunikasi dan Informatika bertindak lebih tegas. Pemerintah diminta melakukan pendataan terhadap keberadaan media online agar jangan lagi disalahgunakan untuk memecah belah bangsa ini. 
“Saya mengharapkan Kantor Kementrian Kominfo segera membuat juklak atau aturan main bagi media online dengan mengacu Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE),” ujar Edo.
Edo mengatakan, atas nama Asosiasi Media Digital bahwa mereka yang suka menyebar tulisan atau berita bernada kebencian pada kelompok masyarakat lain, bisa diblokir keberadaan situsnya agar tidak menjadi alat atau media untuk kepentingan merusak persatuan bangsa ini yang sudah susah dirintis oleh para pejuang kemerdekaan kita. 
Apalagi, kata Edi Winarto, masalah etika dan ketidaksantunan pola komunikasi di media sosial ini juga dikritik Presiden Joko Widodo. Sudah saatnya pola komunikasi melalui media online dan media sosial dipantau terutama konten yang berbau Pornografi, SARA, kekerasan dan kejahatan. 
“Kalau soal itu tidak perlu lagi kita harus bicara kebebasan pers. Tidak ada aturan kebebasan pers dalam soal Pornografi, SARA, kekerasan dan kejahatan, kebebasan pers diatur jika berita yang dibuat bisa dipertanggungjawabkan untuk membangun nilai positif,” kata mantan wartawan sejumlah media massa ini. 
Sebelumnya Presiden Joko Widodo dalam sebuah kesempatan mengungkapkan bahwa belakangan ini sebagian komunikasi media sosial cenderung tidak mengindahkan nilai kesantunan. Banyak netizen yang menyampaikan komentar-komentar yang kurang produktif. 
“Saya enggak mengerti banyak sekali, terutama di medsos. Padahal saya yakin itu bukan budaya ketimuran kita. Saling cela, saling ejek. Coba baca saja,” ucap mantan Gubernur DKI Jakarta itu. Dia mengaku kerap tertawa melihat komentar-komenter netizen di media sosial. “Kadang buat tertawa, tapi kadang sedih saling menjelekkan, saling mencaci itu bukan budaya ketimuran kita,” tutur Jokowi, seperti dikutip Eksekutif. (Red)