Obsesinews.com, Jakarta- Asosiasi Media Digital Indonesia (AMDI) mendesak aparat penegak hukum bersikap tegas dan berani mengungkap dan memproses hukum pihak-pihak yang mengintimidasi dan melakukan aksi kekerasan terhadap profesi wartawan yang sedang menjalankan tugas peliputan.
Kekerasan kembali dialami profesi wartawan. Agus Supramono, jurnalis Semarang TV dan Eko Fidiyanto, wartawan Harian Radar Tegal menjadi korban penganiayaan sekelompok orang saat menjalankan tugas liputan.
Kekerasan dialami dua wartawan ini saat melakukan peliputan di Balai Desa Cimohong, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes. Satu luka serius hingga dilarikan ke RSUD Brebes untuk ditangani secara medis Rabu, (2/9/2020)
Sekretaris Jenderal Asosiasi Media Digital Indonesia (AMDI) Edi Winarto menyesalkan atas tindakan main hakim sendiri tersebut. Sebab, seorang wartawan dalam menjalankan tugas liputan dilindungi Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
“Tidak seharusnya jurnalis yang sedang menjalankan tugas mendapat perlakuan seperti itu, karena profesi wartawan dilindungi Undang-Undang,” sebut Sekjen AMDI dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis (3/9/2020)
Padahal, lanjut mantan jurnalis MNC TV ini, sudah menjadi naluri wartawan jika menemukan peristiwa bagus maka sebagai seorang jurnalis dia harus mendatangi suatu tempat jika ada kejadian atau peristiwa tertentu untuk mendapatkan informasi yang faktual.
Dan kedua wartawan yang dikeroyok tersebut sudah memperkenalkan diri dan menunjukkan indentitasnya bahwa dirinya wartawan sebuah media. Terkait dengan hal itu, Edi Winarto mengatakan, kerja wartawan dilindungi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Karena itu siapa pun yang menghalang-halangi tugas wartawan, bisa dipenjara dua tahun atau denda Rp 500 juta,” ujar Edi Winarto mengingatkan.
Pernyataan tersebut merujuk pada Pasal 18 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999. Disebutkan, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.
Sehingga ketika wartawan sedang mencari berita, dijamin Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999. “Tidak boleh dihalang-halangi. Ketika dihalang-halangi, ada ancaman pidana. Apalagi kekerasan termasuk kejahatan pidana. Meski bukan wartawan polisi wajib mengusut kasus tersebut,” sebut jurnalis senior yang pernah menjadi wartawan di Harian Media Indonesia ini.
Edi Winarto mengatakan, kehadiran wartawan dalam sebuah peristiwa menarik di masyarakat sangat penting sebagai bentuk kontrol sosial. ”Karena publik juga punya hak untuk mengetahui, jika peristiwa tersebut menyangkut pejabat publik maka wartawan sebagai jembatan informasi kepada publik punya kewajiban meliput dan memberitakan ke publik,” tuturnya.
Oleh sebab itu Edi Winarto meminta aparat penegak hukum bisa tegas memproses kasus yang dialami dua wartawan di Brebes Jawa Tengah yang menjadi korban aksi kekerasan. “Hal ini tidak boleh dibiarkan, polisi harus memproses hukum dengan adil,” sebutnya.
Sebagaimana diketahui Agus Supramono jurnalis Semarang TV dan rekannya Eko Fidiyanto, wartawan Harian Radar Tegal selama ini bertugas untuk wilayah liputan Kabupaten Brebes. Namun keduanya mengalami aksi kekerasan dari sekelompok orang.
Akibat kejadian tersebut , Agus Supramono mengalami luka serius di bagian kepala dan pelipis sebelah kiri. Korban terpaksa dilarikan ke RSUD Brebes dan mendapat tiga jahitan di luka bagian kepala. Sementara Eko Fidiyanto, tidak mengalami luka hanya kacamatan yang dipakai pecah.
Saat ini kasus penganiayaan tersebut, telah dilaporkan ke Mapolres Brebes.
Dalam proses pelaporan korban di dampingi dua pengacara dan teman satu profesi.
Agus Supramono mengatakan, kasus penganiayaan yang menimpanya dan temannya itu, berawal pada saat melakukan liputan proses mediasi warga di Balai Desa Cimohong, Kecamatan Bulakamba, Brebes, atas kasus dugaan perselingkuhan yang dilalukan Kepala Desa (Kades) setempat, Gunawan.
Mediasi itu awalnya dihadiri perwakilan warga dan tokoh masyarakat setempat. Namun tiba-tiba muncul masa yang diduga pendukung Kades.
Sekelompok orang kemudian melarang dirinya untuk meliput karena dinilai sebagai aib, dan diminta keluar dari balai desa. Permintaan itu disampaikan secara kasar, bahkan sempat adu mulut. Kemudian, pihaknya mengalah dan menunggu di luar kantor Balai Desa.
“Saya nggak tahu kenapa kami di larang liputan. Alasannya karena aib. Padahal kami datang baik-baik dan mendapat informasi adanya mediasi ini juga dari masyarakat setempat. Kami dalam tugas juga dilindungi undang-undang,” tuturnya saat ditemui di Mapolres Brebes.
Saat menunggu, lanjut dia, pertemuan di dalam balai desa terdengar suara gaduh. Sehingga, dirinya mendekati dan mengambil gambar dari luar.
Namun lagi-lagi, beberapa orang mendatangi dan melarang. Tak berselang lama, sekelompok orang langsung merangsek dan melakukan penganiayaan terhadap dirinya dan temannya.
“Ada sekitar 20 orang yang main pukul. Saat itu saat langsung merunduk, melindung alat (kamera-red). Aksi pemukulan baru berhenti setelah saya berteriak Allahu Akbar dan ada seorang yang melerainya,” ungkap dia.
Saat ini, sambung dia, kasusnya sudah dilaporkan ke Polres Brebes. “Tadi saya sudah visum dan melaporkan kejadian ini ke Polres Brebes,” sambungnya yang juga sebagai Pengurus Majelis Pimpinan Cabang (MPC) Pemuda Pancasila Kabupaten Brebes.
Sementara, Eko Fidiyanto, korban lainnya mengaku, saat kejadian dirinya dijambak rambutnya, dipukul dan ditendang bagian perut. Setelah berhasil menghindari amukan orang yang beringas, dirinya berusaha menarik Agus yang tengah dimasa. “Kalau saya dijambak, dipukul dan ditendang bagian perutnya. Kacamata saya sampai pecah,” ujarnya.
Kasat Reskrim Polres Brebes, AKP Agus Supriyadi membenarkan,adanya laporan kasus tersebut dan kini sedang ditindaklanjuti. “Ya kami menerima laporan ini dan dalam tindak lanjut,” ujarnya. (**/red)