Asosiasi Media Digital Indonesia
Obsesinews.com, Jakarta-Asosiasi Media Digital Indonesia (AMDI) menyesalkan rencana Dewan Pers “melabeli” media online dengan barcode sebagai satu-satunya cara membantu pemerintah menangani masalah merebaknya media abal-abal, media hoax dan media penyebar kebencian(hate speech). Jangan sampai rencana Dewan Pers ini akan memunculkan kartel atau monopoli media gaya baru berdasarkan kekuatan finansial.
“Cara ini tidak mendidik, karena akan “membunuh” media-media online kecil yang sedang tumbuh, padahal media online yang modalnya terbatas itu tidak melakukan hoax atau menyebarkan kebencian, tapi ia terkena dampak dari cara Dewan Pers membarcode media,” ujar Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Media Digital Indonesia (AMDI) Edi Winarto di Jakarta dalam keterangan persnya Senin (16/1/2017)
Verifikasi Dewan Pers, lanjut Edo, panggilan akrab Edi Winarto, hanya akan mendiskriminasi perusahaan media online berdasarkan status ekonominya jika melihat dari syarat yang disebar dalam surat Dewan Pers. Tapi tidak menyentuh akar persoalan. “Ini seperti gaya baru pembreidelan pers dengan cara terselubung, menutup peluang usaha media online kecil yang sedang tumbuh,” katanya.
Senada dengan Edo, sebelumnya Ketua Umum Forum Pimpinan Media Digital Indonesia (FPMDI) S.S Budi Rahardjo juga mengkritisi rencana Dewan Pers yang akan membuat barcode logo Dewan Pers di setiap media online yang di verifikasi berdasarkan badan hukum, pengelola redaksi hingga syarat menggaji wartawan diatas Upah Minimum Propinsi (UMP) selama setahun.Â
Cara ini lanjut Budi Rahardjo, tidak akan menyelesaikan masalah yang dikeluhkan Presiden Joko Widodo selama ini tentang maraknya media abal-abal, penyebar berita hoax atau media penyebar berita kebencian.Â
“Justru yang harus dilakukan adalah memblokir media yang selama ini beritanya tidak valid, menyebarkan kebencian atau membuat berita palsu bekerjasama dengan Kantor Kementrian Kominfo, bukan membatasi munculnya media online baru yang sedang tumbuh berdasarkan kemampuan perusahaannya,” tutur Budi Jojo, panggilan akrab SS Budi Rahardjo.
Menurut Budi, banyak media online baru yang sedang tumbuh dengan modal terbatas tapi berita mereka santun, membangun dan tidak pernah menyebarkan berita kebencian. “Apakah media yang baik ini hanya gara-garanya modalnya terbatas, kita tega menutupnya,” tegas Budi.
Karena, lanjut Budi Jojo, saat ini Forum yang dipimpinnya banyak bergabung media online baru yang sedang merintis bisnis di bidang media digital. “Kamipun memantau, mengedukasi serta meyakini anggota kami bekerja profesional sesuai kode etik jurnalistik,” ujar S.S Budi Rahardjo.
Dan Forum Media Digital sejalan dengan niat Dewan Pers dan Kementrian Komunikasi Informasi dan Informatika untuk memberantas media abal-abal penyebar media palsu. “Kami mengingatkan, sebaiknya juga diikuti dengan literasi media secara sinergis, jangan reaksional dan parsial,” ujar Budi Jojo.
Upaya penyadaran melek media tak berarti, perusahaan media digital yang belum melengkapi standar perusahaan pers lebih jelek mutu profesionalnya. “Banyak dari anggota kami, yang belum bisa menggaji sesuai standar perusahaan pers, tapi bekerja profesional,” ujarnya. Bahkan, sebaliknya, “Kami melihat, banyak media kartel, bekerja untuk kepentingan politik tertentu dari pemilik media, saat ini,” ujar Jojo.
“Anggota Forum Pimpinan Media Digital dan Asosiasi Media Digital terdiri dari start up (media kecil) yang tengah dirintis hingga perusahaan media digital yang sudah bisa menggaji jurnalis serta karyawannya sesuai upah standart upah minimum,” jelas Jojo.
“Kami lindungi, karena bekerja profesional, mewacanakan aspirasi masyarakat, dengan kaidah jurnalistik yang benar,” ujarnya mecukil sikap deklarasi Forum Pimpinan Media Digital Indonesia dan Asosiasi Media Digital Indonesia (AMDI).
Pria yang juga menjadi CEO Majalah Eksekutif yang sudah terbit sejak 1979 ini menyebut hendaknya Dewan Pers tidak terlalu utamakan verifikasi administrasi standar perusahaan pers dimana harus menggaji 13 setahun sesuai UMR. Maksudnya, di era media digital kriteria media digital yang ideal jangan dengan basis usaha media beberapa tahun lalu.
“Media digital berkembang dan teruslah mengikuti jaman,” ujar Jojo mengingatkan, bahwa banyak dari anggota Forum Pimpinan Media Digital terdiri dari jaringan media konvensional cetak yang kemudian melebarkan sayap ke digital. “Banyak juga dari kami para startup,” jelasnya.
“Tentu saja kami sudah paham dan taat kode etik jurnalistik, dengan standar perusahaan pers termasuk jurnalisnya sudah lulus kompetensi, tutur S.S Budi Rahardjo.
Mengenai perusahan pers yang sudah menetapkan jurnalistik berkualitas serta menjauhkan berita hoax, Forum Pimpinan Media Digital punya catatannya. “Jangan juga dengan adanya logo Dewan Pers, membatasi suplai dan kompetisi informasi. Kami menolak jika logo Dewan Pers menyebabkan kartel di bidang media,” ujar Pemimpin Redaksi Majalah MATRA dan CEO majalah Eksekutif ini.
Ketua Forum Pimpinan Media Digital setuju jika Dewan Pers memverifikasi media untuk bertujuan memberantas media abal-abal. “Bukan media kecil yang tengah dirintis tapi komitmen bekerja profesional. Karena berdasarkan hukum anti monopoli, kartel dilarang di hampir semua negara,” tutur Budi Jojo. “Jangan jadikan logo Dewan Pers sebagai tanda kartel media,” kata Jojo Seperti Dirilis editor.id.
Forum Pimpinan Media Digital akan menolak monopoli berita dari kartel atau kekuatan-kekuatan pemilik modal besar. “Kami juga membina beberapa rekan-rekan media startup yang baru merintis tapi punya komitmen bekerja profesional sesuai kode etik jurnalistik,” imbuhnya. (Red)