Obsesinews.com,Jakarta-Forum Pimpinan Media Digital Indonesia (FPMDI) mendukung dengan serius tumbuhnya media profesional. Penandaan media yang tersertifikasi akan diterapkan Februari 2017 dalam acara peringatan Hari Pers Nasional di Ambon, Maluku, dimana media yang sudah lolos verifikasi akan memiliki logo atau sertifikasi sehingga nara sumber tahu sedang berurusan dengan media apa.
Hal ini menjadi baik, agar masyarakat juga bisa membedakan mana pers yang sebenarnya dan yang tidak. Nara sumber boleh menolak diwawancara atau membuka informasi jika media yang mewawancarainya tak memiliki kompetensi jurnalistik.
“Juga perlu koreksi internal di Dewan Pers, wartawan yang sudah lulus uji kompetensi sertifikasi mendapat ID Card atau sertifikat. Jangan sudah lolos, tapi belum juga mendapatkan haknya, seperti misalnya sertifikatnya sudah setahun belum keluar juga,” ujar S.S Budi Rahardjo.
Budi menyebut, sebuah media disebut profesional, bukan abal-abal, antara lain dari sisi badan hukum, alamat kantor, jenis usaha, susunan redaksi, dan cara kerja. Secara bahasa, abal-abal artinya palsu, murahan, rendahan, tidak terpercaya, ilegal.
“Media abal-abal adalah media yang tidak resmi, tidak berbadan hukum, sehingga potensial menyajikan berita asal, sembarangan, serampangan, beritanya tidak dapat dipertanggungjawabkan, dan cenderung mengabaikan standar dan etika jurnalistik,” ujar S.S Budi Raharjo, yang juga merupakan Ketua Umum Asosiasi Media Digital Indonesia.
Budi mengatakan, media profesional, terpercaya, bukan media abal-abal. “Paling tidak, kalaupun belum/tidak berbadan hukum, media tersebut mencantumkan nama-nama tim redaksi (wartawan) dan alamat kantornya,” jelasnya. Untuk itu, Asosiasi Media Digital punya “white list” media yang sudah tersertifikasi sesuai arahan Dewan Pers.
Asosiasi juga punya data, perusahaan media mana yang sudah bisa mensejahterakan organiknya. Maka, pesannya kepada seluruh masyarakat, jika nama pengelola situsnya “anonimous” alias tidak jelas nama dan alamatnya, memang tak usah dijadikan rujukan informasi.
“Biasanya situs abal-abal hanya mengejar trafik dengan posting berita sensasional,” ujar Budi menyebut contoh kata lebay bin alay, bahkan sering beda judul ama isinya! Media abal-abal juga biasanya menggunakan judul-judul berita umpan klik (clickbait) yang melabrak standar penulisan karya jurnalistik, misalnya menggunakan kata “WOW”, “Terungkap”, “Miris”, “Ini Dia”, “Begini”, “Inilah”. Kawanan ini kerap memeras dan lekat dengan praktek korupsi, Dikutip dari Obsesirakyat. Com. (red)